花 (dibaca hana) adalah ‘kembang’ dalam bahasa Jepang. Yah, baru saja di awal pekan ini sejumlah besar bunga di Pulau Jawa terkonsentrasi pada akhir peristiwa yang sejak awal tahun ini menjadi komoditi pers nasional. Oleh sebab itu, dalam posting kali ini saya tergelitik untuk ingin membicarakan masalah bunga, tetapi khususnya yang ada di negeri tempat saya bermukim sekarang.
Bukan. Kali ini saya tidak membicarakan tentang cherryblossom atau 桜 karena musimnya belum tiba. Kali ini saya justru ingin menyinggung masalah pasar bunga di Jepang. Menurut The Japan Times, pasar bunga di Jepang mencapai puncaknya pada akhir masa gelembung ekonomi (baca: economic bubble) atau paruh kedua tahun 1990-an. Kala itu, pasar nasional bunga di Jepang mencapai nilai sekitar 5 trilliun yen atau sekitar 410 triliun rupiah. Kira-kira jumlah itu nyaris separuh APBN Indonesia tahun 2008 yang berjumlah 854,6 triliun rupiah. Tentu saja pasar yang menggiurkan. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir sejak 1998, pasar bunga di Jepang terus merosot dan harga bunga potong atau bunga pot pun anjlok hingga 50% dari harga pada tahun 1990-an.
Meskipun begitu, pasar bunga potong di Jepang memang masih luar biasa dibandingkan pasar bunga potong di tanah air. Ada sebuah toko di Tokyo yang biasanya melayani pembeli sekitar 700 orang per hari. Toko bunga yang saya abadikan dalam posting ini pun cukup ramai. Ketika saya duduk di depan toko bunga yang terletak di dekat Stasiun Hiyoshi, Yokohama ini, tidak kurang dari 20 orang pembeli datang. Menurut penjualnya, kebanyakan pembeli memang wanita berusia lebih dari 40 tahun. Ya, untuk menaikkan kembali gairah bisnis bunga potong di Jepang, sudah selayaknya para pebisnis mulai melirik pembeli muda.
(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)