花 (dibaca hana) adalah ‘kembang’ dalam bahasa Jepang. Yah, baru saja di awal pekan ini sejumlah besar bunga di Pulau Jawa terkonsentrasi pada akhir peristiwa yang sejak awal tahun ini menjadi komoditi pers nasional. Oleh sebab itu, dalam posting kali ini saya tergelitik untuk ingin membicarakan masalah bunga, tetapi khususnya yang ada di negeri tempat saya bermukim sekarang. 

Bukan. Kali ini saya tidak membicarakan tentang cherryblossom atau 桜 karena musimnya belum tiba. Kali ini saya justru ingin menyinggung masalah pasar bunga di Jepang. Menurut The Japan Times, pasar bunga di Jepang mencapai puncaknya pada akhir masa gelembung ekonomi (baca: economic bubble) atau paruh kedua tahun 1990-an. Kala itu, pasar nasional bunga di Jepang mencapai nilai sekitar 5 trilliun yen atau sekitar 410 triliun rupiah. Kira-kira jumlah itu nyaris separuh APBN Indonesia tahun 2008 yang berjumlah 854,6 triliun rupiah. Tentu saja pasar yang menggiurkan. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir sejak 1998, pasar bunga di Jepang terus merosot dan harga bunga potong atau bunga pot pun anjlok hingga 50% dari harga pada tahun 1990-an.

Meskipun begitu, pasar bunga potong di Jepang memang masih luar biasa dibandingkan pasar bunga potong di tanah air. Ada sebuah toko di Tokyo yang biasanya melayani pembeli sekitar 700 orang per hari. Toko bunga yang saya abadikan dalam posting ini pun cukup ramai. Ketika saya duduk di depan toko bunga yang terletak di dekat Stasiun Hiyoshi, Yokohama ini, tidak kurang dari 20 orang pembeli datang. Menurut penjualnya, kebanyakan pembeli memang wanita berusia lebih dari 40 tahun. Ya, untuk menaikkan kembali gairah bisnis bunga potong di Jepang, sudah selayaknya para pebisnis mulai melirik pembeli muda.

bunga.jpg


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

Street Vendor

Sejak dulu saya berpikir bahwa sulit menemukan penjaja makanan jalanan di Tokyo, Jepang. Agak berbeda dengan kota Asia lainnya seperti Seoul, Taipei, Bangkok, dan tentu saja Jakarta, memang cukup sulit menemukan penjaja makanan jalanan di Tokyo. Meskipun begitu, di beberapa kota lain di Jepang, penjaja makanan jalanan mungkin lebih mudah dijumpai.  Barang dagangan mereka bervariasi dari mulai kue-kue kecil, yakiimo (ubi bakar) hingga ramen.

Sebenarnya, di beberapa tempat di Tokyo, terutama di wilayah kota lama, seperti Ueno, banyak juga penjaja makanan jalanan. Dulu saya pikir kelangkaan penjaja makanan jalanan hanya ada di kota Tokyo. Ternyata, di tempat saya tinggal pun, yang sudah relatif jauh dari pusat kota Tokyo, juga sulit menemukan pedagang jalanan. Namun, beberapa waktu lalu ketika melewati sebuah jalan di distrik Minato yang terletak di pusat Tokyo dan menjadi lokasi bagi ratusan perusahaan bisnis skala menengah maupun besar, ternyata ada juga penjaja makanan jalanan yang menjual makan siang. Mereka hanya muncul pada siang hari menjelang waktu makan siang, sebuah fenomena yang juga muncul di Jakarta, terutama di balik gedung-gedung megah di kawasan Sudirman.

street-vendor.jpg

Dalam berjualan, mereka ada yang hanya menggunakan gerobak sederhana, tetapi ada juga yang menggunakan mobil yang sudah dimodifikasi sebagai warung berjalan. Tampak tidak sedikit juga karyawan yang mengantre untuk membeli bento makan siang dan membawanya kembali ke kantor mereka. Memang tidak ada budaya menyantap bento makan siang di taman seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang di London. Namun, paling tidak, pada saat jam makan siang, di Tokyo karyawan tidak hanya banyak memenuhi kios-kios, kafe atau restoran cepat saja, tetapi juga mengantre makanan yang dijajakan penjaja jalanan sama seperti di Jakarta. Yang agak berbeda di antara Tokyo dan Jakarta adalah tidak ada office boy yang bisa disuruh-suruh membeli makan siang di Tokyo. Gitu enggak, Uz?


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

Green line, apa kabar?

Dalam perjalanan ke Shinagawa tadi siang untuk menemui kerabat yang berdinas ke Tokyo, saya melihat sebuah pengumuman yang mendominasi gerbong tempat saya duduk. Semua iklan di dalam gerbong itu menyampaikan pesan yang sama. Cara beriklan seperti ini memang sering dilakukan di dalam kereta api di Jepang, paling tidak di Tokyo. Kadang-kadang ada tema tertentu yang memberikan sentuhan lain pada sebuah atau beberapa gerbong yang dijadikan sebagai media iklan. Iklan yang saya lihat kali ini, meskipun mendominasi seluruh ruang dalam gerbong, biasa saja dan menyampaikan satu pesan: kereta bawah tanah kotapraja Yokohoma (Yokohama Municipal Subway) akan bertambah satu jalur lagi, yakni green line, pada 30 Maret 2008. Dominannya pamflet iklan berisi pesan tersebut dapat dilihat dalam foto di bawah ini.

19012008.jpg

Karena nama jalur itu green line, saya jadi teringat proyek Jakarta Monorail yang juga akan membangun green line. Nah, sudah lama saya nggak dengar kasak-kusuknya lagi sejak Bang Yos lengser; apa kabarnya, Uz? Mudah-mudahan sih masih terus berjalan karena kota sebesar dan semodern Jakarta memang sudah saatnya memiliki sebuah sarana transportasi umum yang layak. Ketika proyek Jakarta Monorail masih seru-serunya, saya ingat ada sebuah situs web di Seattle yang mencoba membandingkan proyek Seattle Monorail dan Jakarta Monorail: biaya yang dibutuhkan, panjang lintasan, dan laju kemajuan proyek. Namun, sudah lama saya tidak melihat-lihat lagi situs itu.    

Beroperasinya Yokohama Municipal Subway green line akan menambah daftar panjang wahana transportasi dengan rel di wilayah Tokyo dan sekitarnya–untuk mudahnya, kita sebut saja Tokyo Raya (the Greater Tokyo). Saat ini saja, sebelum green line beroperasi, jumlah line atau jalur di Tokyo Raya adalah 100 line; di dalamnya sudah termasuk 10 monorail, 14 subway, dan 1 tram. Sungguh angka yang fantastis. Tidak heran apabila jaringan kereta listrik di kawasan Tokyo Raya merupakan jaringan yang paling rumit di dunia. Nah, bagi mereka yang berwisata ke Tokyo, naik turun kereta sudah merupakan atraksi wisata tersendiri. Ya, kereta, wisata, dan hiburan memang merupakan hal yang tidak terpisahkan di Tokyo.

Kembali ke green line monorel Jakarta , apa kabar?


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

Reklame nan santun

 

Jika Totok pernah menulis tentang iklan-iklan di dalam kereta di Jepang yang makin santun, maka saya pun sudah menemukan ‘padanan’-nya di Indonesia. Jangan dibandingkan dari medianya. Kita terang kalah jauh. Boro-boro punya display elektronik dalam kereta, neon box berisi informasi rute kereta saja sudah luluh lantak. Entah karena tumbukan kepala penumpang yang berjejal, entah memang ada sebagian penumpang yang melihatnya serupa sansak tinju yang memohon untuk dijotos.

Kita ingat lagi, kesantunan iklan di Jepang yang menempatkan kenyamanan penumpang di atas segalanya. Dari situlah lahir genre iklan bisu alias ‘nirswara’ (boleh kan istilah ini, Tok?). Terus terang untuk saya sendiri, suara iklan yang berulang-ulang memang bisa sangat memusingkan.

Reklame Santun

Beda di Jepang, beda di Indonesia. Anda perhatikan foto di atas (sekali lagi beribu maaf untuk kamera ponsel saya yang ‘tuna piksel’). Itu adalah foto billboard atau papan reklame sekaligus papan penunjuk Rumah Sakit Umum yang ada di daerah Jagakarsa yang tidak kalah sopan dengan iklan bisu di Jepang. Mengapa demikian?

Umumnya reklame, biasanya reklame perumahan, menulis dengan bombastis perihal letaknya yang relatif dekat dengan pusat kota seperti “Hanya 5 menit dari Segitiga Emas!”, “Enam menit ke Sudirman!”, “Bebas Banjir dan Macet!” dan lain-lain. Papan penunjuk Rumah Sakit Umum ini juga menuliskan prakiraan durasi waktu untuk mencapainya. Tetapi alih-alih meniru reklame bombastis yang lain, reklame ini menulis “Insya Allah 10 menit”. Maksudnya mungkin adalah kalau tidak ada lalu-lintas macet, kecelakaan, serta iring-iringan pejabat yang sering sangat mengesalkan, serta halangan lain, Anda diharapkan bisa mencapai RS tersebut dalam sepuluh menit.

Buat saya, ini terdengar lebih meyakinkan dan benar-benar bebas dari ‘janji-janji syurga’ reklame perumahan atau apartemen. Mungkin reklame-reklame seperti ini masuk ke dalam genrebillboard jujur’. Anyway, betul kan reklame Indonesia tidak kalah santun, Tok?


(mataponsel–image captured by Nokia 7610 with 1 MP built-in camera)

Masih ada kereta yang akan lewat

Kalau membaca judul itu, kita yang pernah menjadi remaja di tahun 1980-an pasti akan teringat sebuah film nasional yang diadaptasi dari novel karya Mira W (1982). Posting kali ini kira-kira sama maksudnya dengan judul novel tersebut.

Dalam posting sebelumnya, saya pernah beberapa kali menyinggung soal kereta listrik di wilayah Tokyo. Dan hampir semuanya bersinggungan dengan ラッシュアワー atau rush hour–jam saat kereta listrik penuh sesak–pada pagi hari. Jika penuh sesak, kepadatannya bahkan melebihi keberjubelan kereta jabotek. Aksi dorong-mendorongnya luar biasa karena saya sudah beberapa kali berada dalam situasi tersebut. Saya pernah terdesak ke tiang penyangga rak besi yang letaknya ada di kanan kiri pintu gerbong; dan hasilnya bahu saya sakit.

Situasi krodit itu dapat dilihat pada gambar yang saya kirimkan pada posting kali ini. Terlihat bahwa hampir di tiap pintu gerbong terdapat petugas stasiun. Mereka membantu memasukkan (atau lebih tepat “mendorong”) penumpang agar pintu gerbong bisa ditutup. Meskipun tidak perlu khawatir karena kecil kemungkinan ponsel atau dompet kita berpindah tangan–sebab nyaris sulit menemukan pencopet di Jepang, situasi seperti itu tentu saja bisa menjadi neraka bagi penumpang wanita. Mereka adalah yang paling rentan karena kadang-kadang di antara penumpang ada pelaku セクハラ (sexual harassment). Akibatnya, operator kereta api merasa perlu untuk menyediakan gerbong khusus wanita. Mengenai gerbong ini, saya akan bicarakan pada kesempatan lain.

rush-hour.jpg

Meskipun sesaknya kereta listrik di Tokyo bisa menjadi objek wisata, hal ini jika dibiarkan akan membuat kenyamanan penumpang benar-benar terganggu. Saat ini, pada jalur-jalur padat, operator menyediakan rangkaian kereta dengan jumlah minimal 10 gerbong dan jarak tiap rangkaian adalah 3 menit. Namun, tetap saja itu sekarang tidak cukup karena makin lama makin sesak.

Arus urbanisasi ke Tokyo dan sekitarnya cukup deras seperti sungai Ciliwung di kala meluap. Jadi, pemerintah Jepang memang harus mencermati fenomena ラッシュアワー ini karena makin lama jumlah penumpang yang tak terangkut makin banyak. Barangkali kereta doubledecker bisa menjadi solusi karena biaya pengadaannya lebih murah daripada membuat rel baru. Kalau hal ini tidak segera diantisipasi, sepuluh tahun lagi ungkapan “Masih ada kereta yang akan lewat” menjadi klise. Sebab, meskipun berapa kali kereta lewat, penumpang yang tidak naik di stasiun keberangkatan tetap saja tidak bisa terangkut.


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

Demam Mao-chan

Akhir pekan seperti ini tentu merupakan waktu yang tepat untuk berjalan-jalan bersama dengan keluarga atau kekasih. Bagi mereka yang belum berkeluarga atau belum punya pacar, tentu aja bisa mengajak teman berjalan-jalan. Kalau yang tidak punya teman? Ya, ke laut aja! Mungkin begitu kalau mengutip salah satu lirik lagu rap terkenal sekitar sepuluh tahun silam. Namun, siapa pun–bersama-sama orang banyak atau pun sendirian–sah-sah saja untuk berjalan-jalan akhir pekan kok.

Nah, dalam posting kali ini, saya ingin menyinggung sedikit tentang kegemaran masyarakat Jepang beberapa waktu ini, terutama setahun silam, yang berkaitan dengan demam Mao-chan. Demam apa itu? Jelas itu bukan demam yang mengikuti gigitan nyamuk bernama Mao-chan. Karena chan adalah panggilan kesayangan untuk gadis Jepang, itu juga bukan demam terhadap boneka bernama Mao-chan. Demam itu berkaitan dengan ice skating. Ya, karena Mao-chan adalah Asada Mao–pemain nasional figure skating nomor satu Jepang yang memikat publik Jepang ketika memenangi perlombaan nasional pada usia 16 tahun kira-kira dua tahun silam.

Sejak itu, banyak orang–terutama anak-anak perempuan–yang berlomba-lomba menjadi Mao-chan baru. Di hampir semua ice skating ground di seluruh Jepang dengan mudah kita jumpai anak-anak yang beramai-ramai bermain skating, termasuk anak saya. Namun, bermain ice skating ternyata tidak mudah. Jangankan untuk berputar meliuk-liuk seperti Asada Mao, untuk sekadar berdiri di lantai es pun setengah mati susahnya. Belum lagi telapak kaki pegal karena hanya bertumpu pada sebatang besi selebar penggaris besi. Meskipun begitu, semuanya itu tidak mengurangi semangat anak-anak itu. Paling tidak, hal itu masih saya lihat ketika saya menjepret foto di bawah ini di lokasi outdoor ice skating di akarenga soko, Yokohama, sehari sebelum awal tahun 2008. Sayang, di Indonesia kok nggak ada ya demam Susi Susanti, Uz?

akarenga.jpg


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

 

Menu makan siang hari ini: Donburi

Tidak jauh dari kampus saya di Fujisawa ada sebuah restoran ikan cukup terkenal di kalangan orang-orang Jepang di sekitar sana. Memang, rasa dan juga porsi ikannya luar biasa memuaskan, tentu saja bagi mereka yang suka makan namasakana alias ikan mentah. Namun, jangan takut, bagi mereka yang tidak suka ikan mentah, bisa juga memesan ikan bakar atau goreng kok. Karena 100% menunya ikan, restoran ini cukup aman bagi mereka dari kalangan muslim.

Restoran di pinggir jalan itu bernama Marutaka.  Melihat porsinya, jika dibandingkan dengan restoran atau toko lain, harga di Marutaka cukup murah. Hanya saja saya sarankan kepada mereka yang mau mencoba makan di sana agar datang pada siang hari karena menu makan siang 40% lebih murah daripada menu dinner. Kelihatannya, restoran ini dikelola oleh keluarga karena suasana kekeluargaannya sangat kuat.

Tiap kali saya berkunjung ke Marutaka saya selalu memesan donburi atau 丼 (diucapkan “domburi”). Donburi adalah genre makanan Jepang yang berupa nasi putih disajikan pada mangkok dengan taburan ikan, daging, sayuran, telur, atau apa saja. Ada jenis donburi yang disajikan kering–kemudian boleh diberi shoyu–atau ada pula yang disajikan dengan saos dashi yang diberi aroma mirin dan shoyu. Saos tersebut berbeda kepekatan dan rasanya menurut musim dan daerahnya. Misalnya, di wilayah Jepang barat biasanya rasa sausnya lebih kuat dan warnanya pekat.

donburi.jpgKata donburi semula merujuk pada mangkok tempat makanan. Namun, dalam perkembangannya, istilah itu digunakan untuk genre makanan seperti yang saya sebutkan di atas. Pada gambar dalam posting saya kali ini, ada contoh donburi. Penamaan donburi memang arbitrer alias manasuka, tergantung restoran atau warungnya. Yah, mirip di Indonesia, misalnya nasi goreng maling (karena yang berjualan keliling malam-malam berbarengan dengan maling beroperasi), donburi dalam foto saya itu bernama sansokudon (san ‘tiga’; soku ‘warna’; don ‘nasi’) karena ada tiga warna merah, jingga dan putih.

Meskipun begitu, ada juga donburi klasik yang penamaannya sama di mana pun. Misalnya, katsudon (nasi dengan taburan daging babi goreng), unadon (nasi dengan taburan “belut” unagi), negitorodon (nasi dengan taburan daging “tuna” maguro dan daun bawang), gyudon (nasi dengan taburan semur daging sapi), oyakodon (nasi dengan taburan ayam, telur, dan saus dashi), kaisendon (nasi dengan taburan seafood), tekkadon (nasi dengan taburan sashimi tuna dan saus jeruk), tenshindon (nasi disajikan dengan omelet kepiting a la Tianjin, Cina) dan tendon (nasi disajikan dengan tempura). Nah, makan donburi yuuk!!!


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

 

Sambutan Tahun Baru dari Sang Kaisar

Secara kebetulan, pada hari kedua tahun 2008 ini, saya diajak teman-teman Indonesia lainnya untuk berkunjung ke Istana Kaisar Jepang atau Koukyo (皇居) yang terletak di daerah Marunouchi dekat Stasiun Pusat Tokyo. Sebenarnya saya sudah beberapa kali datang ke istana ini mengantar keluarga atau teman. Namun, saya belum pernah masuk ke dalamnya. Tentu saja kesempatan untuk berkunjung ke dalam koukyo merupakan kesempatan berharga bagi mereka yang pernah datang atau tinggal di Jepang. Untuk berkunjung ke dalam kompleks istana sebenarnya tidak terlalu sulit karena tiap hari mulai Senin hingga Jumat ada kesempatan untuk berkunjung ke dalam kompleks istana. Gratis alias tidak dipungut biaya, namun harus mendaftarkan diri secara online melalui situs kunaicho.

Namun, untuk bisa melihat langsung Sang Kaisar Akihito atau Tenno Heika, hanya ada dua kesempatan, yakni pada saat ulang tahun Tenno Heika (jatuh 23 Desember) dan tahun baru (jatuh pada tanggal 2 Januari). Nah, beruntunglah saya karena dalam kesempatan berkunjung ke kyouko pada 2 Januari lalu, saya bisa melihat langsung sang Tenno meskipun dari jarak seratus meter lebih.

istana-a.jpgSebelum masuk, kami diharuskan melalui dua buah pos pengecekan. Pos pertama adalah tempat pengecekan barang-barang bawaan. Kami diharuskan membuka tas dan membuang isi minuman di dalam botol. Alih-alih membuangnya, kami meneguk isi minuman itu hingga habis karena sayang, harganya cukup mahal. Pos kedua adalah tempat pengecekan anggota tubuh. Beberapa petugas menggerayangi tubuh kami untuk memastikan tidak ada bom plastik melekat di tubuh kami (lihat gambar kiri atas). Setelah itu, kami baru diperbolehkan masuk melalui gerbang istana yang dijaga polisi kekaisaran (lihat gambar kanan atas).

istana-b.jpg

Ribuan orang tanpa putus-putusnya mengerumuni istana kekaisaran pada hari itu. Ya, pada hari itu, Tenno Heika menyelenggarakan acara sambutan tahun baru dalam beberapa shift yang dimulai sejak pagi hingga siang hari. Jarak tiap shift adalah satu jam sehingga cukup bagi para petugas kepolisian untuk melakukan pemeriksaan dan pengaturan.

Meskipun Sang Tenno hanya tampak dari ruang seperti etalase dengan kaca tahan peluru, rakyat kelihatannya sangat puas dan mengelu-elukannya (lihat gambar kanan atas). Untuk menyambut Sang Tenno, kepada tiap pengunjung dibagikan sebuah bendera Jepang, yakni nipponmaru (lihat gambar kiri atas). Sang Tenno pun hanya muncul tidak kurang dari 10 menit, sementara rakyatnya, termasuk kami, harus menjalani proses pengecekan dan penantian selama kurang lebih satu jam. Namun, bagaimanapun berkesempatan untuk mengikuti acara seperti itu memberikan kesan tersendiri bagi saya. Selamat Tahun Baru. Semoga kebahagiaan dan kedamaian yang sejati terwujud di tahun ini. Begitu sambutan Sang Kaisar jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara bebas.


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

Kantong Keberuntungan

Mumpung masih tahun baru dalam posting kali ini saya ingin mengetengahkan salah satu fenomena berbau tahun baru di Jepang. Tepat pada tanggal 1 Januari, beberapa department store menjual produknya dalam kantong-kantong yang diberi nama fukubukuro (福袋). Fuku adalah keberuntungan dan bukuro (dari kata fukuro) adalah kantong. Yang pertama kali memperkenalkan fukubukuro adalah Ginza Matsuya Department Store pada masa akhir Meiji atau sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kemudian tradisi ini berkembang ke toko-toko lain.

untitled-1.jpg

Dalam foto di sebelah kiri kita bisa melihat antrean panjang pengunjung Tokyu Department Store yang berlomba-lomba untuk membeli fukubukuro di hari pertama tahun 2008. Mereka sudah menunggu sejak setengah jam sebelum toko buka. Di beberapa pertokoan terkenal, bahkan, pengunjung harus mengantre dalam hitungan jam. Dalam kasus tertentu, bahkan mereka harus mengantre sebelum matahari terbit. Biasanya pertokoan di Jepang buka antara jam 10.00 dan jam 11.00. Jadi, calon pembeli fukubukuro harus rela mengantre empat sampai lima jam.  

Sebenarnya apa yang menarik dari sebuah fukubukuro? Di dalam foto yang sebelah kanan, terdapat foto fukubukuro di sebuah department store di Kichijoji, Tokyo. Dalam kantong dengan harga sama tersebut, terdapat beberapa produk yang biasanya berkaitan dengan tema toko atau seksi tertentu pada sebuah department store. Misalnya, seksi pakaian wanita pada department store biasanya menyediakan fukubukuro dengan isi pakaian dan segala macam kebutuhan wanita dewasa.

Harga fukubukuro biasanya lebih murah 50% dari total semua produk yang terdapat di dalam kantong itu. Pada masa lalu, penjualan fukubukuro adalah sebagai bagian dari strategi untuk menghabiskan stok barang lama, namun lama-kelamaan fukubukuro menjadi semacam ikon baru dalam kegiatan perayaan tahun baru di Jepang. Kadang-kadang pula, fukubukuro berisi benda yang bernilai nominal lebih dari harga total fukubukuro itu, misalnya tiket pesawat ke luar negeri, tas bermerk, atau kupon atau voucher belanja gratis. Oleh sebab itu, namanya adalah “kantong keberuntungan”. Oleh sebab itu pula, masih banyak orang Jepang yang memburu fukubukuro pada kesempatan tahun baru. Ya, banyak orang memang ingin mendapatkan keberuntungan yang tak terduga meskipun kini banyak fukubukuro lebih sering memberikan contoh atau sampel dari barang yang ada di dalam kantong. Jadi, unsur surprise-nya sudah hilang meskipun faktor lucky-nya masih tetap ada. Pemberian gambaran isi kantong tersebut merupakan upaya agar pembeli merasa tidak seperti membeli kucing dalam karunng.


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

Belajar alfabet dan angka (lagi), yuk!

Sobat saya, Totok, pernah menulis posting tentang ‘Kepleset Tangan’. Intinya menyoal salah tulis akibat ‘kemiripan atau kesamaan bunyi’ pada dua kata yang tulisan dan maknanya berbeda. Ia menampilkan foto poster reklame bertuliskan huruf kanji disertai alfabet terbaca “Maid in Japan” yang maksudnya adalah “Made in Japan” alias produksi Jepang. Dalam posting tersebut Totok menantang saya untuk bisa menemukan hal serupa di Indonesia. Awalnya terus terang saya kebingungan. Tapi nggak lama kok. Akhirnya saya temukan juga jawabannya (karena pada kenyataannya cukup mudah mencari ‘cacat-cacat’ seperti itu di sini!).

Nah, Tok, lihat foto di bawah ini? Bagaimana ‘membaca’ pelat nomor mobil ini? Pastinya sampean tahu kalau huruf ‘O’ dicoret itu artinya angka nol, kosong, nil. Kesimpulannya? Mungkin pembuat pelat nomor polisi ini tidak pernah menggunakan mesin ketik. Kalau pernah, jelas dia, atau mungkin mereka, pasti tidak akan membuat kekeliruan seperti ini.

Kelihatannya ini soal sepele. Tapi bisa jadi justru ini yang jadi penyebab macetnya jalan-jalan di kota besar kita. Analoginya, kalau huruf dan angka saja bisa keliru, jangan-jangan para pengendara juga salah memaknai rambu-rambu lalu-lintas. Soalnya, saya cukup sering menyaksikan pengendara kendaraan bermotor (terutama motor dan metro mini) yang justru makin gila memacu kendaraan mereka saat mendekati lampu lalu-lintas yang akan berubah merah.

Mungkin juga kekeliruan ini yang jadi penyebab banyaknya bencana transportasi di Indonesia. Bayangkan, jika korban bermaksud meminta bantuan dengan menulis ‘SOS’ (Save Our Soul) tapi yang terkirim malah ‘S0S’ (Save Nil Soul) yang dipahami oleh penerima pesan sebagai ‘tidak ada jiwa yang perlu diselamatkan’. Atau kode biner (binary code) yang seharusnya terdiri atas angka ‘1’ dan ‘0”, malah jadi nggak karuan lantaran terbaca menjadi ‘satu O’.

Lebih jauh lagi, bagaimana kalau urusan huruf ‘O’ dan angka ‘0’ ini sampai pada hitung-hitungan ekonomi seperti pemasukan dan pengeluaran kas negara? Nah, sampai sini, mungkin Anda jadi mafhum kan sekarang mengapa neraca perdagangan kita lebih banyak defisitnya ketimbang surplusnya? Jangan-jangan ini karena para ekonom kita juga tidak bisa membedakan antara ‘nol’ dan huruf ‘O’!

Mungkin progam Kejar Paket A perlu digalakkan lagi ya, Tok? Bagaimana menurut sampean?


(mataponsel–image captured by Nokia 6300 with 2 MP built-in camera)