Jangan dibungkus ‘tuk dibawa pulang

051120081

Di Indonesia, jika di restoran kita memesan makanan terlalu banyak dan tidak dapat langsung menghabiskannya, kita tinggal melambaikan tangan memanggil pelayan restoran atau penjaga warung. Kita bisa langsung meminta kepada mereka membungkus makanan kita yang masih tersisa. Dengan sigap, si pelayan, penjaga atau siapa pun di sana akan segera mengambil tempat dan membungkus mie goreng, ayam taliwang, atau apa pun yang masih tersisa untuk memenuhi keinginan kita, pelanggan mereka.

Jangan harap itu terjadi di Jepang. Di Jepang, entah di negara lain, tidak semua makanan yang sudah kita beli di restoran, dan tidak habis, dapat kita bawa pulang dengan “legal”. Mengapa? Karena mereka sudah menyediakan menu tersendiri untuk makanan yang dibawa pulang atau mochikaeri (持ち帰り). Kadang-kadang menu itu berbeda dengan menu yang ada di dalam daftar menu biasa. Tidak semua menu yang ada di restoran itu bisa kita pesan untuk dibungkus dan dibawa pulang. Biasanya menu makanan yang bisa dipesan bawa pulang jumlahnya lebih sedikit daripada menu makanan yang langsung disantap di tempat. Beberapa restoran bahkan menyediakan counter khusus bagi mereka yang ingin memesan bawa pulang.

Ada hal yang menarik ketika saya tanyakan mengapa di Jepang makanan sisa tidak boleh dibawa pulang. Beberapa rekan Jepang saya mengatakan bahwa ada etika makan yang harus dihormati, terlebih di restoran, sehingga sebaiknya kita memesan makanan yang sesuai dengan daya tampung perut kita. Ketika saya tanyakan, jika porsi makanan yang disajikan terlalu besar, tentu saja sulit bagi kita untuk menghabiskannya. Rekan Jepang mengatakan bahwa untuk hal itu sebenarnya sudah ada kesempatan untuk menanyakan berapa besar porsi yang akan disajikan kepada pelayan. Namun, bagi orang Indonesia yang masih gelagapan dalam berbahasa Jepang, tentu saja sulit bertanya-tanya lebih jauh daripada sekadar memesan nama makanan yang tertera di dalam daftar menu. Jadi, kalau memang porsinya banyak dan tersisa, terpaksa kita mengeluarkan jurus mengeluarkan sapu tangan atau tisu; dan memasukkan sisa makanan itu ke dalam kantong atau tas. Tentu saja, nasihat ini tidak berlaku jika kita memesan udon atau nabe.

 


(mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)

Robin Hood dari Jepang?

Tanggal ini, setahun silam, posting pertama mataponsel saya muatnaikkan ke dalam web. Sejak itu, sudah berpuluh-puluh kali posting dimuatnaikkan ke dalam blog ini. Pada dua minggu pertama, hampir tiap hari kami muatnaikkan tulisan secara bergantian di antara saya dan rekan saya. Setelah itu, kami sepakati untuk melakukan pemuatan tulisan minimal satu minggu satu kali. Sayangnya, dalam beberapa bulan terakhir, kesibukan studi saya yang nyaris menyita seluruh waktu saya membuat mataponsel hanya bisa aktif sebulan sekali; itu pun karena tandem saya, Dauz, juga belum bisa aktif kembali memuatkan tulisannya yang humanis.

Dalam posting kali ini, untuk memperingati satu tahun mataponsel, saya ingin mengetengahkan kisah tentang Robin Hood dari Jepang. Saya tergelitik untuk menuliskannya karena ketika melintasi sebuah sisi pusat keramaian “dunia lama” Tokyo, Asakusa, mata saya tertumbuk kepada patung manusia mengenakan penutup muka mengendap-endap di atap sebuah toko seperti yang tampak pada foto di bawah ini. Ketika saya tanyakan kepada teman Jepang, ternyata itu seorang tokoh terkenal yang pernah hidup pada abad ke-19. Namanya Jirokichi Nezumi-Kozo atau Jirokichi si Pengerat.

01112008Nezumi-kozo (1797–1832) hidup pada masa Edo atau kira-kira sebelum masa Meiji. Pada masa karirnya sepanjang 15 tahun sebagai pencuri, Nezumi-kozo telah mencuri lebih daripada 30.000 ryo. Ryo (両) adalah keping emas sebagai mata uang pada masa sebelum Meiji. Pada masa itu, satu keping ryo dapat menghidupi keluarga biasa untuk masa setahun dan barangsiapa yang mencuri 10 ryo bisa dikenai hukuman mati.

Nezumi bekerja sebagai buruh biasa dan relawan pada brigade pemadam kebakaran Edo (Tokyo sekarang). Namun, Nezumi memiliki kehidupan yang misterius. Pada tahun 1822, dia pernah ditangkap dan ditandai dengan tato sebagaimana biasanya pelaku kriminal pada masa itu. Namun, itu tidak menghentikan kegiatannya sebagai pencuri karena dia berhasil lolos dan meneruskan kegiatannya. Akhirnya, pada usia 36, dia tertangkap kembali oleh polisi dan kali ini dia tidak dapat lolos. Nezumi-kozo diikat dan diarak dengan kuda di hadapan publik di Edo sebelum kemudian dipenggal kepalanya. Kepalanya lalu dipertunjukkan kepada umum.

Setelah kematiannya, Nezumi-kozo meninggalkan kisah legendanya sebagai pencuri budiman selayaknya Robin Hood of Sherwood. Semasa karirnya sebagai pencuri Nezumi-kozo telah membobol rumah penduduk kaya di lebih dari 100 wilayah samurai. Kisah legendanya sebagai pencuri budiman telah diangkat ke dalam cerita kabuki, novel, film layar lebar, bahkan ke dalam game. Meskipun demikian, para ahli sejarah modern umumnya percaya bahwa, meskipun hanya mencuri uang kaum kaya, Nezumi-kozo telah menghabiskan uang untuk berfoya-foya dengan wanita dan minuman keras ketimbang membantu orang-orang miskin. Entahlah mana yang benar. Yang jelas, tiap negara atau tiap bangsa tentunya memiliki kisah-kisah sendiri mengenai pencuri budiman.


 (mataponsel–image captured by Nokia N73 with 3.15 MP built-in camera and Carl Zeiss optical lens)