Cukur Bapori

Di zaman yang katanya super-modern ini, terkadang lucu dan aneh jika kita masih menemui sesuatu yang amat jauh dari modern dan bahkan sudah pantas jika dilabeli ‘kuna’. Namun seringkali pula kita merasa ada sesuatu yang menarik pada hal-hal yang sering pula dicap ‘ketinggalan zaman’ itu.

Ini saya alami ketika menjumpai tukang cukur keliling saat tengah jalan-jalan pagi di daerah Permata Hijau. Saya sempat berhenti beberapa saat untuk melacak ulang ‘tag’ dalam memori di kepala yang berisi gambaran terakhir saya melihat peristiwa serupa. Ternyata hasil pencarian berbunyi “the search failed to identify when such memory was last stored”, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bebas artinya: “Udah lama banget, Booow!“. Sebenarnya, selain tukang cukur keliling seperti ini, ada juga tukang cukur yang memilih tempat strategis di bawah kerindangan pohon dan menunggu pelanggan. Mereka dikenal dengan sebutan cukur Bapori alias ‘Bawah Pohon Rindang’.

Ya, saya sudah lupa kapan terakhir melihat tukang cukur keliling seperti ini. Tapi saya masih ingat jelas rupa kursi lipatnya, bentuk pisau cukur yang pegangannya terbuat dari plasti berwarna hitam atau putih, kerja trimmer yang masih manual, serta aroma sabun mandi yang dipakai mengerik saat merapikan cukuran. Semua berkelebat dalam benak saya begitu cepat. Anehnya, ada semacam kerinduan terselip untuk mengulanginya lagi. Sayang rambut saya masih pendek ketika menyaksikan ‘keajaiban mendadak’ itu.

Sesaat ingatan saya mengilas balik ke puluhan tahun silam. Ketika saya berusia 5 tahunan, Ayah saya suka memanggil tukang cukur keliling seperti ini. Dan saat itu momen mencukur rambut merpakan saat yang istimewa buat saya. Terutama ketika sang tukang cukur membersihkan cairan air sabun dengan pisau cukur setajam silet yang lebih dulu diasah di atas selembar kulit, entah kulit sapi atau
kerbau, supaya makin tajam. Saat itu biasanya teman-teman perempuan menyaksikan dengan seksama dan wajah yang waswas. Masih ingat perasaan bangga ketika saya bisa melewati tahap itu dengan tenang dan menunjukkan kepada mereka kalau saya ‘baik-baik saja’.

Saya tersentak dari lamunan saat gelak tawa anak-anak pecah mendengar canda salah seorang rekannya. Kembali saya menikmati atraksi yang sudah langka didapati di kota besar seperti Jakarta ini. Sambil menyaksikan tukang cukur serius bekerja dan pelanggannya terkantuk-kantuk ditingkahi derai tawa anak-anak yang mengelilinginya, saya berdoa. Doa sederhana entah untuk semua tukang cukur keliling seperti ini. Mudah-mudahan krisis ekonomi, krisis politik, dan seabrek krisis lain di negeri ini tidak membuat rambut jadi malas tumbuh. Karena jika itu terjadi, pasti makin sulit saya menemukan ‘atraksi kehidupan’ yang, meskipun sudah kuna, tapi sangat menarik sekaligus menyegarkan hidup ini.

___________________________________________________________

(mataponsel–image captured by iPhone 3G with 2 MP built-in camera)

Author: Tahmid Firdaus

Just a regular guy, trying to reveal the multi-layered secrets of life lying scattered before his paths. A simple guy who learns to write and writes to learn.

4 thoughts on “Cukur Bapori”

  1. Sampai gw kuliah sih masih ada TCK (Tukang Cukur Keliling). Bahkan sampai kira-kira sepuluh tahun silam masih suka nemu tukang timbang keliling. Hmmmm … kadang2 gw mikir dari mana ya mereka bisa hidup ya? Tetapi kalau niat mereka tulus untuk dapat rezeki halal, insyaallah pasti ada jalan.

Leave a comment