Sarapan 3000 Rupiah


Semenjak kenaikan harga bahan bakar di awal tahun 2009, ada sedikit kebiasaan saya yang berubah dalam hal makan. Akhir-akhir ini saya justru semakin sering makan di luar rumah. Perubahan yang mungkin justru tidak sesuai untuk mengantisipasi fenomena yang terjadi.  Makan di luar berarti ekstra pengeluaran. Namun, saya memilih makan di warteg alias ‘warung tegal’ atau kedai-kedai kecil, termasuk penjaja makanan di gerobak dorong.

Ini saya lakukan disertai harapan bahwa mereka bisa tetap bertahan di tengah berbagai kesulitan yang terus mengimpit. Biasanya, setiap usai makan di warteg, saya merasa lega karena merasa telah berhemat bisa makan dengan sangat murah. Ada kisah, entah mau disebut unik atau malah miris, yang saya alami sendiri saat bersantap di salah satu warteg favorit saya.

Suatu pagi, usai mengantar anak ke sekolah, saya mampir ke warteg langganan. Segera saya pesan seporsi nasi berikut lauknya; sayur lodeh, telur baladoorek teri kacang, dan tahu lapis tepung. JIka tidak ada telur saya biasa menggantinya dengan ikan cuwe atau kembung. Untuk menu ini saya ‘hanya’ membayar Rp6000 hingga Rp7000. Harga yang jauh lebih hemat dibanding secangkir minuman termurah di kafe mana pun.

Tengah saya menikmati hidangan, muncul dua pemuda berperawakan sedikit kurus. Sepertinya mereka adalah pekerja yang ikut dalam pembangunan gedung di dekat warteg itu. Keduanya duduk tak jauh dari saya dan segera memesan dengan suara yang sedikit dipelankan, sepertinya berharap saya tidak mendengar. Tentu saja saya tetap mendengar apa yang mereka pesan untuk santapan paginya.

Keduanya hanya memesan sepiring nasi disiram dengan kuah tahu sayur dan tempe orak-arik. Ya, cuma itu. Setelah beberapa suap, salah satu dari mereka bertanya berapa harga kerupuk yang ada dalam kaleng di dekat mereka. Akhirnya, satu dari mereka makan dengan tambahan kerupuk.

Entah karena penasaran atau hal lain, saya memperlambat makan saya. Saya cuma ingin tahu berapa mereka harus membayar untuk menu sarapan yang ‘super minim lauk’ itu. Saya cukup kaget begitu Ibu penjual menyebut harga Rp6500 untuk makan mereka berdua. Jadi, seporsi sarapan mereka ternyata hanya Rp3000. Jika tidak ada tambahan kerupuk dan sebatang rokok, seharusnya malah hanya Rp2500!

Saya enggan mereka-reka  apa yang bakal mereka pesan jika harga-harga naik lagi nanti seiring kenaikan BBM di masa mendatang. Saya juga urung ‘merekonstruksi’ pesanan mereka lalu memotretnya dengan kamera ponsel saya. Saya hanya sempat mencuri satu gambar salah seorang dari mereka dan menu ikan cuwe balado kesukaan saya di warteg itu. Yang jelas, beberapa suap terakhir sarapan saya pagi itu mendadak  terasa jadi begitu hambar…


(mataponsel–image captured by iPhone 3G with 2 MP built-in camera)

Blogged with the Flock Browser

Author: Tahmid Firdaus

Just a regular guy, trying to reveal the multi-layered secrets of life lying scattered before his paths. A simple guy who learns to write and writes to learn.

2 thoughts on “Sarapan 3000 Rupiah”

  1. Sekelumit kisah tentang nasib buruh kecil yang mencari nafkah di kota besar. Mereka bekerja keras, membanting tulang, membangun suatu fasilitas yang hasilnya, rasanya mereka sendiri tidak bisa menikmati.

    Semoga Indonesia bangkit dari keterpurukan ekonomi ini dan tingkat kemiskinan akan jauh berkurang.

Leave a comment